Tuesday, November 1, 2011

gelora nafsu sepupuku - 1

4531


Pertama kali aku mengenal dirinya, aku kagum dengan budi pekerti dan kesopanan bicaranya. Saat itu aku masih ingat, dia telah duduk di bangku akhir SLTP dan usianya menginjak 15 tahun, namanya Eva, ya.. Eva, mengnafsukan sekali namanya semengnafsukan orangnya. Waktu itu aku telah bertunangan dengan kakak sepumempunyai yang sekarang telah menjadi bini tercintaku dan dikaruniai seorang putra yang lucu.


Tiga tahun kemususan adik sepupu biniku Eva datang ke rumahku dan memintaku untuk menolong mencherikan PTS di kotaku. Aku dan biniku jadi susah dibuatnya karena wajib mengantarkan dia untuk daftar, test dan cheri kost. Selama menolong dia, aku memperolehkan pengalaman yang sangat menherik dan membikinku bertanya-tanya dalam hati.



Selama aku menolongnya mencherikan PTS di kotaku, dia sering mencuri pandang ke arahku dengan pandangan yang nakal, kemususan terseyum sambil memandang kejauhan. Hampir tanpa ekspresi, aku pun terdiam sampai dia berlalu. Aku terkejut bukan karena cara pandangannya kepadaku, tapi dia sendiri itu yang membikin jantungku berdetak lebih cepat. Aku kemususan berandai-andai, jika waktu berpihak kepadaku, jika keberuntungan mendukung, jika kesempatan mau sedikit saja berbaik hati. Mungkin juga aku yang terlalu berharap dibuatnya, sebenarnya batinku tidak setuju untuk menyebutnya begitu.



Sesungguhnya kita sering diganggu oleh ketidakpastian yang menghantui kotak pikiran, tapi setelah kenyataan dihadapan mataku, maka baru sadar. Aku takut tidak dapat mengendalikan diriku lagi. Pada suatu hheri dia datang ke rumahku, karena ada hheri cuti besoknya, dia mau bermalam di rumahku. Hatiku jadi gelisah, aku ingin melakukan sesuatu, mengalirkan magma yang meledak-ledak dalam diriku. Tapi batin dan nuraniku melarangnya, tidak sepantasnya itu terjadi padaku dan sepupuku.



“Kak, tolong aku dong!” Pandangannya menusuk, menembus dadaku hingga jantungku, serasa ingin mkamuncat.


“Jika Kakak tak keberatan, Eva minta diajherin naik motor bebek”, matanya mengerling ke arahku serasa terseyum manis.



Belum pernah aku menerima tawaran seperti ini dheri cewek. Kau telah menyentuh sisi paling rawan dalam hatiku. Aku mengangguk sambil tetap memegang wajahnya dengan tatapanku, akung untuk dilepaskan. Wajahnya lembut, tenang dan dewasa, kalau saja tubuhnya setinggi minimal 175 cm, pastilah telah menjadi bintang film sejak lama. Rambutnya sebahu, kulitnya kuning langsat, Pokoknya mantap!



“Mengapa memilih Kakak? Mengapa tidak kepada pacarmu atau rekanmu yang lain?” tanyaku.


“Saya telah memilih Kakak”, katanya manja. Aku mulai menggodanya..


“Memilih Kakak?” Dia mengangguk lugu, tetapi makin mempesona.


“Kalau begitu, jangan protes apa-apa, kamu Kakak terima menjadi murid, sederhana bukan?” kataku.


“Kakak akan menyesal jika melewatkan kesempatan ini, sebab Kakak ingin tercatat dalam hati sanubheri Eva yang paling dalam sebagai orang paling berjasa menumbuhkan dan menyemaikan bakat naik motor kepada Eva cewek yang manis, kandidat peraih Putri Indonesia.” Tawanya meledak, matanya menyepit, bibirnya memerah. Pipinya juga, duhh..!


“Kapan Kak belajarnya?” tanya dia.


“Sekarang”, jawabku.



Kemususan kami pamit kepada biniku, dan aku mengeluarkan motor bebek, kuhidupkan mesinnya. Aku duduk di depan dan dia di belakangku, aku mencheri daerah yang sepi lalu lintasnya. Setelah sampai di kawasan yang lalu lintasnya kurasa sepi, aku menghentikan dan turun dheri motor. Kemususan aku memberikan beberapa petunjuk yang diperlukan dan mempersilakan dia untuk duduk di depan dan aku di belakangnya. Beberapa menit kemususan motor mulai jalan slow dan berputar-goyang hingga mau jatuh. Terpaksa aku menolong memegang stang motor, aku tidak sempat melihat lekuk tubuhnya. Badannya sangat indah jauh lebih indah dheri yang aku bayangkan. Lehernya yang putih, pundaknya, toketnya.. Akh..!



Setelah aku menolong memegang stang, motor dapat berjalan dengan stabil, aku mulai dapat membagi konsentrasi. Aku merasakan kehangatan tangannya, telapak tanganku menumpuk pada telapak tangannya. Kuusap tangannya, dia nggak bereaksi, mungkin karena lagi konsentrasi dengan jalan. Kemususan aku merapatkan dudukku ke depan sehingga kemaluanku merapat pada punggung bagian bawah. Hidungku kudekatkan ke belakang telinganya, tercium bau wangi pada rambutnya. Aku mulai tteriaksang, kemaluanku mulai tegak di balik celana dalam yang kupakai.



Karena dia telah mulai dapat mensayasai motor, sedangkan aku masih dapat mengontrol diriku dengan baik, kutawarkan untuk latihan sendiri dan aku menunggu di warung saja. Tapi dia nggak mau, dia ingin aku tetap duduk di belakangnya. Aku jadi khawatir sendiri, kalau begini terus akan berbahaya, imanku kuat tapi barangku nggak mau diajak kompromi.



Akhirnya timbul dalam pikiranku untuk sekedar berbuat iseng saja. Kemususan aku pura-pura menjelaskan soal lalu lintas, aku merapatkan badanku sampai kemaluanku menempel di bawah punggungnya. Eva pasti juga dapat merasakan kemaluanku yang tegak. Tapi dia cuma diam saja, kubisikan di telinganya..



“Eva, kamu mengnafsukan sekali!” kataku dengan suara bergetar.



Tetapi dia tetap tidak bereaksi, kemususan aku meletakkan kedua tanganku di kedua pacuma. Rupanya dia tetap tidak bereaksi, aku jadi makin berani mengusap-usap pacuma yang terkuak, karena dia menggunakan celana pendek.



“Akh.. Kakak nakal! Entar dimarahi Kak Lina lho, kalau ketahuan!”, katanya manja.


“Kalau Eva nggak cerita, ya.. Nggak ada yang tahu! Emang Eva mau cerita sama Kak Lina?” tanyaku.


“Ya.. Nggak sih”, katanya.


“Kalau gitu kamu baik dech”, kataku.



Karena memperoleh lampu hijau aku makin berani, kukatakan bahwa toketnya sangat bagus bentuknya, lebih bagus dheri mempunyai kakaknya, Lina. Dia tampak bahagia.



“Kakak ingin sekali menyentuhnya, boleh nggak?” kataku meluncur dengan begitu saja.


“Akh.. Kakak nakal”, katanya manja.



Aku makin nekat saja, sebab dheri jawabannya aku yakin dia nggak keberatan. Kemususan tanganku slow-slow mulai menyentuhnya dan kemususan memegang penuh dengan telapak tanganku. Wah, rasanya keras sekali, kucoba meremasnya dan dia sedikit terkejut. Aku tidak dapat memegang lama-lama sebab wajib membagi konsentrasi dengan jalan. Yang jelas kemaluanku makin berdenyut-denyut.



Aku tersentak waktu dia mengerem motor dengan mendadak untuk menghindheri lubang. Tubuhku menekan tubuhnya hingga membikin kesadaranku pulih, akhirnya aku memutuskan untuk mengajaknya balik. Aku sempat melihat kekecewaan di matanya. Tapi mau bagaimana lagi itu jalan terbaik, agar aku tidak sampai terjebak pada posisi yang sulit nantinya.



Besok paginya, waktu aku mau bteriakkat bekerja, biniku memintaku untuk mengantarkan Eva dulu ke tempat kostnya. Tentu saja aku bersedia, malah jantungku menjadi berdebar-debar. Nggak lama kemususan Eva mendekati kami.



“Kak, antherin Eva dulu dong? Eva ada kusarih pagi nich! Teman Eva nggak jadi menjemput”, katanya.


“Ayo!” ajakku sambil masuk ke dalam mobil.


“Eva mau mandi dulu ya Kak!” katanya.


“Nggak usah, nanti keburu macet di jalan, mandinya nanti aja di kost.”, jawabku.



Di dalam hatiku aku telah berjanji bahwa aku wajib dapat mengendalikan diri. Sehingga selama dalam perjalanan aku banyak diam. Akhirnya dia mulai membuka pembicaraan..



“Kak, kok diam aja sih? Marah ya? Anterin Eva balik!” kata Eva.


“Kakak cuma lagi kurang enak badan saja”, jawabku sekenanya.



Setelah sampai di depan rumah kostnya, dia minta aku untuk ikut masuk, mengambil mainan yang telah dibelikannya untuk anakku. Mulanya aku menolaknya, tapi karena dia mau buru-buru bteriakkat kusarih dan juga belum mandi, sgilagkan kamarnya di lantai 3. Aku jadi kasihan kalau dia wajib naik turun tangga cuma untuk mengambilkan mainan saja. Akhirnya aku mengikutinya dheri belakang, aku sempat heran dan tanya kepada dia..



“Kok sepi sekali?”



Ternyata kata Eva semua telah pada bteriakkat kusarih. Kemususan aku disuruh menunggu di kamarnya, sedangkan dia mandi. Setelah selesai mandi dia masuk ke kamar, wajahnya terlihat segar.



“Lho kok nggak ganti baju?” tanyaku.


“Iya, tadi rekanku kasih tahu kalau dosennya nggak masuk, jadi Eva nggak perlu buru-buru lagi.” katanya. Sementara aku duduk di tempat tidurnya, dia mengambilkan mainan yang akan diberikan pada anakku.


“Ini Kak”, katanya sambil duduk di sampingku.


“Wah bagus sekali. Terima kasih ya!” kataku.



Sewaktu aku mau berpamitan keluar, pandangan mataku beradu dengannya, hati ini kembali berdebar-debar, pandangan matanya benar-benar meluluh-lantakan hatiku dan menghancurkan imanku. Aku tidak jadi berdiri, kupegang tangannya. Kuusap dengan penuh perasaan, dia diam saja, kemususan kupegang pundaknya, kubelai rambutnya..



“Eva kamu mengnafsukan sekali”, kataku dengan suara bergetar, tapi Eva diam saja dengan muka makin menunduk. Kemususan aku meletakkan tanganku di pundaknya. Dan karena dia diam saja, aku jadi makin berani, kucium di bagian belakang telinganya dengan lembut, rupanya dia mulai tteriaksang. Dengan slow-slow badan Eva aku bimbing, kuangkat agar berada dalam pangkuanku.



Sementara kemaluanku makin menegang, usapan tanganku makin turun ke arah toketnya. Aku merasa nafas Eva telah memburu seperti nafasku juga. Aku makin nekat, tanganku kumasukan ke dalam kaosnya dheri bawah. Pelan-slow meraba naik ke atas mendekati panyudaranya, dan ketika tanganku telah sampai ke pinggiran toketnya yang masih tertutup dengan BH-nya, kuusap bagian bawahnya dengan penuh perasaan, dia menggelinjang dan menoleh ke arahku dengan mulut sedikit terkuak.



Aku jadi tidak tahan lagi, kutundukan muka kemususan mendekatkan bibirku ke bibirnya. Ketika bibir kita bersentuhan, aku merasakan sangat hangat, kenyal dan basah. Aku pun melumat bibirnya dengan perasaan akung dan Eva membalas ciumanku, slow-slow lidahku mulai menjulur menjelajahi ke dalam mulutnya dan mengkait-kaitkan lidahnya, membikin nafas Eva makin memburu.



Tanganku pun tidak tinggal diam, kubukakan BH-nya ke atas, sehingga aku dapat dengan leluasa memegang toketnya. Aku belum melihat tapi aku telah dapat berimajinasi bentuknya, ukurannya gak begitu besar dan terlalu kecil, sehingga kalau dipegang rasanya pas dengan telapak tanganku. Payudaranya bulat dengan punting yang tegak bergetar seperti menantangku. Kuusap dan kuremas, Eva mulai merintih.



Kemususan Eva kurebahkan di kasur, kulepas kaosnya dan BH-nya sehingga tampak pemandangan yang sangat menakjubkan. Dua buah gundukan yang berdiri tegak menantang, kupandangi badannya yang setengah telanjang. Kemususan mulutku slow-slow kudekatkan ke toketnya, dan ketika mulutku menyentuh toketnya, Eva merintih lebih keras. Nafsuku makin naik, kuciumi toketnya dengan tidak sabar. Putingnya kukulum dengan lidahku, kuputar-putar di sekitar putingnya dan toketnya yang sebelah kuremas dengan tanganku.



“Aduuhh.. Ahh.. Ah”, Eva makin mengteriak-teriak dan dengan gemas putingnya kugigit-gigit sedikit.

BERBAMBUNG - - -

No comments:

Post a Comment